Mediasel News :
Home » , » Fisika Modern Bersua Sufisme

Fisika Modern Bersua Sufisme

Written By Unknown on Wednesday, January 30, 2013 | 1:36 PM

MediaSel.com - Dulu ini bisa langsung digugat: apa mungkin mengkaitkan Sufisme dan Fisika Modern? Sufisme atau tasawuf biasanya dikaitkan dengan tazkiyat al nafs (mensucikan diri), ishlah al qalb (pembersihkan hati) dari akhlak-akhlak tercela, pendekatan diri kepada Tuhan serta kehidupan spiritual lainnya. Sementara Fisika merupakan ilmu modern untuk menerangkan interaksi antara energi dan materi mulai dari partikel-partikel elementer seperti quark, elektron, dan proton sampai benda-benda makroskopis seperti bintang dan galaksi. Fisika berkaitan dengan materi yang tangible (dapat dipegang) atau hal-hal yang dapat diterangkan secara rasional.


Fisika Modern Bersua Sufisme

Titik kontras yang lain adalah pandangan awam bahwa belajar tasawuf atau menjadi sufi sering disalahartikan sebagai suatu bentuk kehidupan yang egoistik. Untuk mencapai tujuan, seorang sufi dipersepsikan musti meninggalkan kehidupan material keduniaan, meninggalkan keramaian, mengasingkan diri dari pergaulan manusia, bahkan sampai ekstrimnya berhubungan dengan manusia hanya akan menganggu dirinya untuk bercengkerama dengan Tuhan. Sementara untuk belajar Fisika, yang pertama kali dihadapi adalah benda yang ditemui sehari-hari, dan kemudian dilihat sifat dan perilaku material, serta kemudian dilakukan percobaan atau pengamatan di laboratorium atau di lapangan sehingga ditemukan hukum-hukum Fisika yang obyektif, dapat diulang dan konsisten. Hal-hal yang bersifat spiritual atau yang tidak rasional harus ditinggalkan di Fisika. Belajar Fisika dapat dilakukan oleh semua orang pada semua jenjang, namun untuk belajar menjadi sufi seseorang harus melewati suatu maqam-maqam tertentu yang tidak mudah.

Sekilas tampak sekali susah mencari titik temu antara keduanya, perbedaan-perbedaan tersebut terjadi makin jelas antara Fisika klasik (Newtonian) dengan praktek-praktek yang tampak dari luar dari Sufisme. Namun dalam tatanan Fisika modern dan filosofi Sufisme ternyata terjadi banyak kemiripan. Sebagai contoh: bahasa yang digunakan Fisika modern dan Sufisme merupakan bahasa metafora. Hal ini merujuk kepada suatu realitas yang lebih dalam, pada hal-hal yang tidak dapat diterangkan, paradoks dan yang tidak masuk akal. Penjelasan metafora untuk menyatakan misteri yang tersembunyi dari realitas metafisik dan energi-energi di luar pemahaman manusia.

Sebelum masuk lebih jauh pada kaitan sufisme dan Fisika modern, ada baiknya gambaran tentang Fisika klasik kita lihat kembali. Konsep filosofis Fisika klasik adalah analitik, mekanistik dan deterministik. Bahkan cenderung reduksionis untuk mengambarkan alam semesta mengikuti filosofi Descartes dan Bacon. Dalam Fisika Newtonian ini semua fenomena yang ada di semesta dapat diurai secara analitik berdasarkan hukum-hukum Fisika yang pasti. Pada dasarnya apabila kondisi awal suatu keadaan diketahui dan semua medan gaya yang berpengaruh diperhitungankan maka perilaku suatu benda (posisi dan momentum) untuk waktu berikutnya dapat ditentukan. Hukum Fisika ini dapat diterapkan mulai dari hal sederhana seperti benda jatuh bebas sampai perhitungan posisi planet-planet dalam tatasurya. Salah satu contoh yang menakjubkan dari hasil perhitungan Fisika Newtonian ini adalah ramalan tentang waktu gerhana bulan atau matahari sampai dalam orde detik dan ternyata cocok dengan hasil pengamatan.

Tidak dapat disangkal bahwa cara berpikir Fisika klasik ini telah memicu kemajuan teknologi yang dimulai dengan revolusi industri di Eropa. Mesin-mesin dirancang dengan disain yang berdasarkan perhitungan analitik-mekanistik yang pasti. Dan dalam tatanan filosofi, alam semesta merupakan mesin raksasa yang berputar secara terus-menerus dan dapat diprediksi. Disini hal-hal yang berbau mistik seperti peran dewa-dewa, roh nenek moyang, kekuatan supranatural, dan mahluk halus tidak ada lagi dalam hidup manusia. Bahkan Tuhan pun cenderung untuk dinihilkan. Kalaupun Tuhan dianggap ada, maka peran Tuhan sudah sangat direduksi sebagai sekedar pencipta awal, dan kemudian alam “ditinggalkan” untuk berputar sendiri setelah dilengkapi dengan hukum-hukum Fisika.

Kesuksesan Fisika Newtonian ternyata hanya berlaku pada dunia makroskopis, dunia kasat mata dan pada benda yang bergerak dengan kecepatan jauh di bawah kecepatan cahaya. Di awal abad ke dua puluh, Fisika klasik terbukti gagal untuk menjelaskan fenomena mikroskopik pada skala atom. Seolah-olah ada revisi edisi ulang ilmu Fisika, muncullah dua cabang ilmu Fisika Modern yaitu Fisika Kuantum yang dibidani oleh Bohr, Heisenberg, Schrödinger dan lain-lain, dan Teori Relativitas yang diungkapkan Einstein.

Fisika Kuantum mempunyai implikasi yang sangat luas pada perubahan peradaban manusia. Penjelasan tentang atom, molekul dan zat padat telah melahirkan material semikonduktor, laser dan chips mikroskopis yang pada gilirannya menghasilkan akselerasi kemajuan di bidang teknologi dan informasi. Sementara Teori relativitas Einstein dapat ditarik untuk menerangkan kosmologi tentang asal usul semesta, disini diperoleh gambaran bahwa alam semesta berasal dari suatu titik big bang (dentuman besar) dan berkembang serta berekspansi secara terus menerus.

Implikasi filosofis Fisika Kuantum lebih dahsyat, diantaranya tentang prinsip ketidakpastian Heisenberg dan participating observer (hasil eksperimen selalu tergantung pada pengamat dan suatu realitas tidak akan terjadi sebelum kita benar-benar mengamatinya). Dalam dunia sub-atomik, hukum Fisika tidak lagi merupakan suatu kepastian, tetapi gerak partikel diatur oleh konsep probabilitas. Pandangan terakhir ini yang menyangkut indeterminisme menimbulkan kontroversi yang cukup ramai.

Dalam teori Kuantum setiap keadaan partikel (posisi, momentum, energi dst.) dihubungkan berdasarkan suatu eksperimen. Ketika formulasi telah dirumuskan maka perilaku partikel dapat diprediksi. Schrödinger menunjukkan bahwa perilaku partikel dapat ditunjukkan oleh sebuah persamaan matematis gelombang. Namun persamaan ini tidak memberi informasi apa-pun tentang keadaan partikel sebelum suatu eksperimen benar-benar dilakukan, dengan perkataan lain persamaan tersebut meramalkan dua hasil kemungkinan secara sepadan. Dalam percobaan celah ganda, tampak bahwa hasil pengamatan tergantung kepada cara eksperimen dilakukan. Partikel tersebut tidak punya sifat “asli”.

Oleh para Fisikawan konsekuensi indeterminisme ini biasanya dilukiskan secara dramatis dalam sebuah “eksperimen” yang dikenal dengan kucing Schrodinger (Dewitt, 1970). Kucing ini bisa dalam dua keadaan skizofrenik sekaligus yaitu hidup dan mati. Tentu saja semua ini merupakan bahasa metafora dari ketidakmampuan fisikawan untuk menerangkan keadaan “yang sesungguhnya” terjadi. Namun hal tersebut seperti keadaan partikel yang bisa sekaligus gelombang merupakan konsekuensi pengembangan teori Kuantum.

Albert Einstein sendiri sangat tidak nyaman dengan konsekuensi terakhir ini. Meskipun pada masa mudanya Einstein turut serta dalam membangun teori Kuantum (pada kasus efek fotolistrik) namun Einstein tua justru merupakan seorang penentang konsekuensi filosofis teori Kuantum, sampai-sampai dia berucap “Tuhan tidak bermain dadu”. Dalam debat melawan Bohr dan kawan-kawan, argumentasi Einstein tentang determinisme selalu dapat dipatahkan. Sehingga sampai saat ini teori Kuantum yang meskipun “agak edan” tetapi terbukti merupakan teori yang dapat menerangkan dunia mikroskopis dan mempunyai manfaat dalam kehidupan sehari-hari.

Lebih jauh tentang konsep participating observer, pola hasil yang akan diperoleh dalam suatu eksperimen sangat ditentukan oleh pengamat atau dengan perkataan pengamat menentukan hasil. Ini bukan penelitian sosial tetapi penelitian tentang materi sub-atomik. Lebih jauh lagi sesuatu benda mikro tidak punya makna apa-apa sebelum benar-benar diamati. Oleh karena itu diperlukan suatu mahluk yang memiliki kesadaran (consciousness) untuk menjadikan sesuatu benda menjadi “real”. Tanpa pengamat, maka semesta ini tidak akan ada.

Disini mulai jelas titik singgung antara Fisika modern dengan sufisme atau mistisisme Timur lainnya. Kita dapat lihat dari salah satu potongan syair Rumi:

Aku adalah kehidupan dari yang kucintai. Tempatku tanpa tempat, jejakku tanpa jejak, Bukan raga atau jiwa; semua adalah kehidupan dari yang kucintai”.

Juga kita dapat lihat pendapat Ibnu Arabi dalam Fushush al-Hikam:

Kosmos berdiri diantara alam dan al Haqq, dan antara wujud dan non eksisteni. Ia bukan murni wujud dan bukan murni non-eksistensi. Maka dari itu kosmos sepenuhnya tipuan, dan kalian membayangkan bahwa ini al Haqq, namun sebetulnya bukan al Haqq. Dan kalian membayangkan bahwa ini makhluk, namun ini bukan makhluk”.

Bahasa Rumi “Tempatku tanpa tempat, jejakku tanpa jejak” atau ungkapan Ibnu Arabi tersebut sangat memiliki kemiripan dengan Mekanika Kuantum yang juga mengungkapkan tentang “hidup yang juga mati, mati yang juga hidup”. Jelas sekali bahasa metafora yang digunakan disini.

Selanjutnya dalam kerangka teori relativitas juga dimungkinkan dibuat suatu kerucut ruang-waktu: masa lalu, masa sekarang dan masa mendatang. Dalam hal ini –secara matematik– ada bagian yang berada di luar kerucut ruang waktu ini, sehingga dapat dikatakan di luar dunia fisik ini yang kita tempati ini masih ada kemungkinan “dunia lain”. Hal ini juga didukung oleh teori Kuantum yang menawarkan many worlds interpretation atau interpretasi banyak dunia yang diungkapkan oleh Everett pada tahun 1957. Artinya alam semesta yang kita tempati ini bukan satu-satunya. Hal ini serupa dengan yang dikatakan oleh Rumi tentang hati yang bisa menuju ke “Pintu-pintu ke dunia lain.”

Rumi menulis dalam puisi yang lain “Sang Sufi bermi’raj ke ‘Arsy dalam sekejap, sang zahid membutuhkan waktu sebulan untuk sehari perjalanan.” Meskipun puisi ini sedikit menunjukkan nada yang agak sombong dari Sang Sufi, namun jelas menunjukkan adanya keserupaan dengan konsep relativitas pada Fisika modern.

Para ahli astrofisika modern telah menghitung bahwa setidaknya ada 15 trilyun galaksi sejak permulaan penciptaan —big bang— dan galaksi- galaksi tersebut dalam kosmos mengikuti suatu siklus seperti yang dijelaskan oleh sufi yaitu kelahiran, pertumbuhan, kematian dan pembangkitan kembali. Bintang-bintang, seperti manusia, tidak pernah sebenarnya mati, namun beberapa bahan dasar seperti besi, karbon, oksigen dan nitrogen secara terus-menerus didaur-ulang dalam ruang sebagai debu kosmis, bintang baru, tanaman dan kehidupan. Semua dalam alam semesta yang berekspansi terdiri dari energi, dan energi secara sederhana berubah dari suatu keadaan ke keadaan lain untuk selanjutnya naik menuju (cosmic ascent) kepada Allah.

Pencarian padanan antara sufisme dan Fisika modern dapat terus dilakukan terutama dalam masalah yang berkaitan dengan semesta lain, dunia ghoib, pengkerutan waktu, ketidakpastian, “hidup tetapi mati”, kesadaran dapat mempengaruhi materi, “ada tetapi tidak ada”, siklus kehidupan dan asal usul semesta.

Beberapa hal dapat dengan mudah dapat dicerna, namun lebih banyak lagi yang merupakan bahasa metafora karena susahnya menuliskan realitas yang sesungguhnya. Mungkinkah kesulitan ini karena keterbatasan bahasa manusia atau keterbatasan kemampuan logis manusia? Atau semua ini merupakan harta tersembunyi sebagaimana yang diungkapkan oleh sebuah hadist qudsi: Allah telah berkata “Aku adalah harta tersembunyi yang perlu disingkap, Aku ciptakan semesta sehingga Aku dapat diketahui”

Kita biarkan pertanyaan ini menjadi pertanyaan yang tidak terjawab, namun mengikuti “semangat teori Kuantum” yang maju terus memberikan kontribusi penting pada peradaban manusia meskipun telah meninggalkan Einstein dalam kegelisahan interpretasi. Adakah sekarang manfaat praktis yang dapat ditarik dari mengkaitkan sufisme dan Fisika modern?

Sudah saatnya para fisikawan mempelajari istilah yang sudah biasa di Fisika namun merujuk pada entitas yang berbeda dalam sufisme, yaitu energi. Di Fisika, istilah energi menunjukkan suatu besaran yang sangat real, sementara di sufisme istilah ini lebih abstrak. Para ahli sufi sebenarnya meminjam istilah ini karena ada keserupaan, meskipun pada dasarnya berbeda. Sudah beratus-ratus tahun terbukti secara empiris bahwa para ahli sufi mampu menggunakan suatu jenis energi metafisik yang berasal dari Yang Maha Kuasa untuk berbagai keperluan seperti penyembuhan sakit fisik dan non fisik. Para ahli sufi sendiri sebenarnya tidak mengerti bagaimana proses penyembuhan ini terjadi kecuali dengan sepenuhnya melakukan kepasrahan kepada Allah SWT. Disini fisikawan dapat melakukan penjelasan hal ini karena memang dimungkinkan dalam teori Kuantum bahwa kesadaran dapat mempengaruhi materi (mind over matter).

Hal ini hanya merupakan salah satu contoh manfaat real untuk kemanusiaan. Akan muncul sekali banyak manfaat bila dilakukan eksplorasi secara seksama hubungan antara sufisme dan Fisika modern.

Wallahu a’lam bishawab.

Author : Muhammad Hikam
Staf Pengajar Fisika FMIPA Universitas Indonesia dan Penelaah
Naqshbandi-Haqqani
» Read More...

Kiamat !

Dalam suatu masyarakat yang ‘sakit’, kehadiran sosok juru selamat semacam Imam Mahdi atau Satrio Piningit selalu ditunggu. Pada sosok-sosok seperti inilah, masyarakat yang tersisih lantas menyandarkan harapannya. Dilain pihak, sadar atau tidak sadar, masyarakat ‘sakit’ seperti ini diam-diam juga mengharapkan akhir dunia segera tiba. Saat itulah mereka akan diangkat ke surga dan bisa mengucapkan selamat tinggal pada kehidupan dunia yang penuh kepahitan ini.

kiamat

Dari waktu ke waktu, kita sering menemukan berita tentang sekte keagamaan tertentu yang ‘menjanjikan’ kiamat kepada anggotanya. Mereka percaya bahwa akhir dunia segera tiba pada tanggal sekian bulan sekian tahun sekian, dan bahwa hanya golongan merekalah yang akan diselamatkan Tuhan dan berhak untuk menjadi penghuni surga. Tidak jarang keberadaan kelompok semacam ini berakhir dengan bunuh diri massal, sebuah cara yang dipercaya menjadi semacam ‘jalan tol’ dalam rangka mencapai surga. Di sisi lain, ada juga kelompok yang meyakini akan adanya tanda-tanda jaman tertentu yang mengisyaratkan bahwa sang juru selamat akan segera tiba untuk menyelamatkan mereka yang ‘beriman’ sebelum dunia dan seisinya lenyap bersama datangnya hari kiamat.

Cerita ‘klasik’ semacam itu kini juga sedang berlangsung di negeri ini. Sebelum cerita tentang ‘sekte hari kiamat’ ramai dimuat di media, kita mungkin juga sudah pernah mendengar cerita tentang dua gerhana di bulan Ramadhan kali ini yang dipercaya merupakan tanda-tanda akan segera turunnya apa yang disebut sebagai Imam Mahdi itu. Entah kenapa, banyak orang yang percaya tentang hal-hal semacam ini. Tak terpikir kalau terjadinya gerhana adalah sesuatu yang wajar dan alamiah, dan bahwa apabila terjadi dua gerhana pada Ramadhan kali ini tak lebih dari sebuah kebetulan yang juga pernah terjadi di waktu lampau (dalam bulan Ramadhan tahun 1402H/1982 M, pernah terjadi dua gerhana sekaligus dan sampai sekarang Imam Mahdi masih belum kunjung muncul).

Ini masih ditambah lagi dengan kisah-kisah yang dituturkan oleh para rohaniwan “doomsayer” tentang huru-hara di akhir dunia yang belakangan ini makin sering saja kita dengar. Dalam agama Islam, Al Qur’an sudah menegaskan tentang tanda-tanda Kiamat secara garis besarnya saja, sementara itu beberapa hadits menerangkannya dengan lebih rinci. Tapi kalau kita perhatikan hadits-hadits yang sering dikutip berkaitan dengan tanda-tanda kiamat, tidak jarang kita akan menemukan beberapa kejanggalan. Selain lemah dari segi riwayat (matan), kelihatan bahwa banyak riwayat yang kini telah kehilangan konteksnya.

Bagaimana dalam kisah-kisah tentang kedatangan kiamat, kekaisaran Romawi masih digambarkan sebagai kekuatan ‘superpower’, sementara Bizantium masih merupakan pusat peradaban dunia. Dikisahkan pula bahwa dalam perang akhir jaman, manusia masih mengendarai kuda dengan bersenjatakan pedang dan tombak, dan bahwa unta masih menjadi sarana transportasi utama. Itu semua sudah cukup untuk menunjukkan bahwa segala riwayat tersebut paling tidak memerlukan interpretasi ulang kalau tidak bisa disebut meragukan.

Sebagai orang beriman, kita memang harus meyakini bahwa cepat atau lambat, kiamat pasti akan terjadi. Namun kapan tibanya akhir dunia itu, biarlah hanya menjadi rahasia dari Yang Maha Mengetahui. Kita tidak bisa melarikan diri dari kenyataan dengan menunggu datangnya kiamat atau berpangku tangan mengharapkan sang juru selamat, entah dengan nama Imam Mahdi, Satrio Piningit, atau apapun juga, datang dan membebaskan manusia dari ketertindasan. Kita juga tidak bisa hanya berlindung dibalik teks-teks kitab suci dan berharap ada mukjijat datang dari langit untuk membebaskan kita dari keterpurukan. Ikhtiar, usaha, itulah sebenar-benarnya yang harus kita lakukan.
» Read More...

Awal Puasa dan Lebaran Sering Berbeda?

Sebentar lagi kita akan memasuki bulan suci Ramadhan. Seperti biasa, isu perbedaan awal Ramadhan/Syawal sering mencuat pada saat-saat semacam ini. Apa saja sih faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan tersebut? Inilah yang akan kita pelajari dalam catatan kali ini.

Awal Puasa dan Lebaran

Kita tahu bahwa penanggalan Islam dihitung berdasarkan peredaran bulan mengelilingi Bumi (dikenal sebagai penanggalan sinodis). Fase bulan--yang semula gelap lalu nampak kecil berbentuk sabit tipis, lantas semakin besar hingga purnama untuk kemudian mengecil lagi--dijadikan pedoman dalam menentukan bulan-bulan Islam.

Untuk penetapan awal Ramadhan dan Syawal, Rasulullah memerintahkan "Berpuasalah kamu jika melihat bulan, dan berbukalah jika melihat Bulan". Perintah ini praktis karena dapat dilakukan oleh setiap orang tanpa harus mengetahui perhitungan dan data astronomis. Berdasarkan perintah Rasul tersebut, maka tiap bulan menjelang awal bulan Ramadhan dan Syawal, diadakan pengamatan untuk melihat bulan sabit (hilal).

Kegiatan inilah yang biasa disebut sebagai ru'yatul hilal atau juga dikenal sebagai ru'yat saja. Ru'yat diadakan sesaat setelah matahari terbenam karena bulan sabit pertama akan nampak di sekitar arah matahari terbenam. Jika bulan sabit tersebut nampak, maka malam itu dan keesokan harinya dihitung sebagai tanggal satu bulan baru (Ramadhan/Syawal), namun apabila bulan tidak terlihat maka dilakukan istikmal (menggenapkan bulan berjalan sebanyak 30 hari).

Selain ru'yat, kita juga mengenal metodologi hisab untuk untuk menentukan awal bulan hijriyah. Hisab dalam bahasa Arab artinya menghitung, jadi metodologi ini menggunakan perhitungan untuk menentukan awal bulan hijriyah.

Tahun lalu, disini kita pernah belajar tentang kriteria visibilitas hilal sebagai salah satu faktor yang penentu dari perbedaan awal bulan suci umat Islam (kalau lupa, silahkan dijenguk lagi catatan 26 Oktober 2001 lalu). Tapi sesungguhnya perbedaan awal bulan hijriyah ini bukan hanya sesederhana persoalan kesesuaian antar hasil hisab dan ru’yat saja.

Persoalan pertama adalah soal ru’yat. Ada ketidaksesuaian pendapat tentang sejauh mana hasil ru’yat berlaku. Ada ulama yang berpendapat bahwa hasil ru'yat hanya berlaku lokal dengan radius sekitar 90 km (disebut sebagai matla') dengan alasan bahwa hilal selalu terlihat terlebih dahulu di daerah yang terletak lebih ke sebelah barat sementara di sebelah timurnya bulan masih ada di bawah ufuk (cakrawala). Adapun Angka 90 km dianalogikan dengan jarak yang membolehkan seseorang meng-Qashar sholatnya.

Namun ada pula ulama yang beranggapan bahwa hasil ru’yat dapat berlaku untuk satu wilayah regional tertentu (misalnya seluruh wilayah Indonesia). Pendapat lain adalah bahwa hasil ru’yat dapat berlaku untuk keseluruhan wilayah suatu negara tanpa memperhitungkan keterpisahan lokasi geografis (misalnya walaupun secara geografis terpisah jauh, namun karena masih dalam satu wilayah negara, maka hasil ru’yat di Hawaii juga dapat berlaku di seluruh Amerika Serikat).

Golongan yang lebih "ekstrim" malahan berpendapat bahwa hasil ru’yat dapat berlaku untuk seluruh dunia, artinya bahwa dimanapun ada laporan penampakan hilal, maka di wilayah manapun di dunia, esoknya akan dihitung sebagai tanggal satu bulan berikutnya. Kelompok ini mendasarkan argumennya pada persatuan umat Islam. Sayangnya, dari segi penanggalan konsep ini tidak ideal karena dengan demikian, tanggal yang sama akan jatuh pada hari yang berbeda pada tempat yang berbeda. Kasus lainnya adalah penentuan hasil ru’yat penentu awal bulah Dzulhijjah sebagai patokan hari raya Haji (Idul Adha). Karena ritual Haji dilaksanakan di Arab Saudi, maka banyak pihak yang berpendapat bahwa hasil ru’yat yang digunakan adalah hasil ru’yat di Arab Saudi.

Persoalan kedua, menyangkut hisab. Sebagian kaum muslimin menggunakan ilmu ini dengan cara mencari data ketinggian dan arah hilal serta mengancang-ancang berapa lama hilal berada di atas ufuk setelah matahari terbenam. Kelompok ini tetap berpegang kepada ru'yat dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan, artinya, walaupun hilal menurut perhitungan sudah mungkin dapat dilihat tetapi dalam kenyataannya tidak ada seorangpun yang dapat melihatnya, maka tetap harus dilakukan istikmal. Sebagian lainnya berpendapat bahwa perhitungan yang akurat dapat dijadikan penenetu awal dan akhir Ramadhan. Kelompok ini tidak lagi melakukan ru'yat untuk menentukan awal dan akhir Ramadhan. Ru'yat bagi mereka hanya sesekali dilakukan hanya untuk mengecek dan menyempurnakan data dan sistem perhitungan mereka.

Masalahnya, data dan sistem perhitungan bulan yang berkembang dan digunakan oleh umat Islam di Indonesia sampai saat ini masih berbeda-beda. Ada yang menggunakan data dan sistem yang dikembangkan pada abad ke XV masehi, dengan data tetap dan koreksi yang sederhana, sementara ada juga yang sudah menggunakan data kontemporer yang diambil dari lembaga-lembaga astronomi internasional dengan perhitungan matematika mutakhir. Karena sistem perhitungannya berbeda maka tingkat akurasinya tentu juga berbeda. Akibatnya, sering terjadi ketidak cocokan antara satu sistem perhitungan dengan sistem lainnya.
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
All Right Reserved : MediaselPlus | Mediasel | Media Informasi
Copyright 2013 Mediasel. All rights reserved. Mediasel is released under the GNU/GPL License. mediasel