Titik kontras yang lain adalah
pandangan awam bahwa belajar tasawuf atau menjadi sufi sering
disalahartikan sebagai suatu bentuk kehidupan yang egoistik. Untuk
mencapai tujuan, seorang sufi dipersepsikan musti meninggalkan kehidupan
material keduniaan, meninggalkan keramaian, mengasingkan diri dari
pergaulan manusia, bahkan sampai ekstrimnya berhubungan dengan manusia
hanya akan menganggu dirinya untuk bercengkerama dengan Tuhan. Sementara
untuk belajar Fisika, yang pertama kali dihadapi adalah benda yang
ditemui sehari-hari, dan kemudian dilihat sifat dan perilaku material,
serta kemudian dilakukan percobaan atau pengamatan di laboratorium atau
di lapangan sehingga ditemukan hukum-hukum Fisika yang obyektif, dapat
diulang dan konsisten. Hal-hal yang bersifat spiritual atau yang tidak
rasional harus ditinggalkan di Fisika. Belajar Fisika dapat dilakukan
oleh semua orang pada semua jenjang, namun untuk belajar menjadi sufi
seseorang harus melewati suatu maqam-maqam tertentu yang tidak mudah.
Sekilas tampak sekali susah
mencari titik temu antara keduanya, perbedaan-perbedaan tersebut terjadi
makin jelas antara Fisika klasik (Newtonian) dengan praktek-praktek
yang tampak dari luar dari Sufisme. Namun dalam tatanan Fisika modern
dan filosofi Sufisme ternyata terjadi banyak kemiripan. Sebagai contoh:
bahasa yang digunakan Fisika modern dan Sufisme merupakan bahasa
metafora. Hal ini merujuk kepada suatu realitas yang lebih dalam, pada
hal-hal yang tidak dapat diterangkan, paradoks dan yang tidak masuk
akal. Penjelasan metafora untuk menyatakan misteri yang tersembunyi dari
realitas metafisik dan energi-energi di luar pemahaman manusia.
Sebelum masuk lebih jauh pada
kaitan sufisme dan Fisika modern, ada baiknya gambaran tentang Fisika
klasik kita lihat kembali. Konsep filosofis Fisika klasik adalah
analitik, mekanistik dan deterministik. Bahkan cenderung reduksionis
untuk mengambarkan alam semesta mengikuti filosofi Descartes dan Bacon.
Dalam Fisika Newtonian ini semua fenomena yang ada di semesta dapat
diurai secara analitik berdasarkan hukum-hukum Fisika yang pasti. Pada
dasarnya apabila kondisi awal suatu keadaan diketahui dan semua medan
gaya yang berpengaruh diperhitungankan maka perilaku suatu benda (posisi
dan momentum) untuk waktu berikutnya dapat ditentukan. Hukum Fisika ini
dapat diterapkan mulai dari hal sederhana seperti benda jatuh bebas
sampai perhitungan posisi planet-planet dalam tatasurya. Salah satu
contoh yang menakjubkan dari hasil perhitungan Fisika Newtonian ini
adalah ramalan tentang waktu gerhana bulan atau matahari sampai dalam
orde detik dan ternyata cocok dengan hasil pengamatan.
Tidak dapat disangkal bahwa cara
berpikir Fisika klasik ini telah memicu kemajuan teknologi yang dimulai
dengan revolusi industri di Eropa. Mesin-mesin dirancang dengan disain
yang berdasarkan perhitungan analitik-mekanistik yang pasti. Dan dalam
tatanan filosofi, alam semesta merupakan mesin raksasa yang berputar
secara terus-menerus dan dapat diprediksi. Disini hal-hal yang berbau
mistik seperti peran dewa-dewa, roh nenek moyang, kekuatan supranatural,
dan mahluk halus tidak ada lagi dalam hidup manusia. Bahkan Tuhan pun
cenderung untuk dinihilkan. Kalaupun Tuhan dianggap ada, maka peran
Tuhan sudah sangat direduksi sebagai sekedar pencipta awal, dan kemudian
alam “ditinggalkan” untuk berputar sendiri setelah dilengkapi dengan
hukum-hukum Fisika.
Kesuksesan Fisika Newtonian
ternyata hanya berlaku pada dunia makroskopis, dunia kasat mata dan pada
benda yang bergerak dengan kecepatan jauh di bawah kecepatan cahaya. Di
awal abad ke dua puluh, Fisika klasik terbukti gagal untuk menjelaskan
fenomena mikroskopik pada skala atom. Seolah-olah ada revisi edisi ulang
ilmu Fisika, muncullah dua cabang ilmu Fisika Modern yaitu Fisika
Kuantum yang dibidani oleh Bohr, Heisenberg, Schrödinger dan lain-lain,
dan Teori Relativitas yang diungkapkan Einstein.
Fisika Kuantum mempunyai
implikasi yang sangat luas pada perubahan peradaban manusia. Penjelasan
tentang atom, molekul dan zat padat telah melahirkan material
semikonduktor, laser dan chips mikroskopis yang pada gilirannya
menghasilkan akselerasi kemajuan di bidang teknologi dan informasi.
Sementara Teori relativitas Einstein dapat ditarik untuk menerangkan
kosmologi tentang asal usul semesta, disini diperoleh gambaran bahwa
alam semesta berasal dari suatu titik big bang (dentuman besar) dan
berkembang serta berekspansi secara terus menerus.
Implikasi filosofis Fisika
Kuantum lebih dahsyat, diantaranya tentang prinsip ketidakpastian
Heisenberg dan participating observer (hasil eksperimen selalu
tergantung pada pengamat dan suatu realitas tidak akan terjadi sebelum
kita benar-benar mengamatinya). Dalam dunia sub-atomik, hukum Fisika
tidak lagi merupakan suatu kepastian, tetapi gerak partikel diatur oleh
konsep probabilitas. Pandangan terakhir ini yang menyangkut
indeterminisme menimbulkan kontroversi yang cukup ramai.
Dalam teori Kuantum setiap
keadaan partikel (posisi, momentum, energi dst.) dihubungkan berdasarkan
suatu eksperimen. Ketika formulasi telah dirumuskan maka perilaku
partikel dapat diprediksi. Schrödinger menunjukkan bahwa perilaku
partikel dapat ditunjukkan oleh sebuah persamaan matematis gelombang.
Namun persamaan ini tidak memberi informasi apa-pun tentang keadaan
partikel sebelum suatu eksperimen benar-benar dilakukan, dengan
perkataan lain persamaan tersebut meramalkan dua hasil kemungkinan
secara sepadan. Dalam percobaan celah ganda, tampak bahwa hasil
pengamatan tergantung kepada cara eksperimen dilakukan. Partikel
tersebut tidak punya sifat “asli”.
Oleh para Fisikawan konsekuensi
indeterminisme ini biasanya dilukiskan secara dramatis dalam sebuah
“eksperimen” yang dikenal dengan kucing Schrodinger (Dewitt, 1970).
Kucing ini bisa dalam dua keadaan skizofrenik sekaligus yaitu hidup dan
mati. Tentu saja semua ini merupakan bahasa metafora dari ketidakmampuan
fisikawan untuk menerangkan keadaan “yang sesungguhnya” terjadi. Namun
hal tersebut seperti keadaan partikel yang bisa sekaligus gelombang
merupakan konsekuensi pengembangan teori Kuantum.
Albert Einstein sendiri sangat
tidak nyaman dengan konsekuensi terakhir ini. Meskipun pada masa mudanya
Einstein turut serta dalam membangun teori Kuantum (pada kasus efek
fotolistrik) namun Einstein tua justru merupakan seorang penentang
konsekuensi filosofis teori Kuantum, sampai-sampai dia berucap “Tuhan
tidak bermain dadu”. Dalam debat melawan Bohr dan kawan-kawan,
argumentasi Einstein tentang determinisme selalu dapat dipatahkan.
Sehingga sampai saat ini teori Kuantum yang meskipun “agak edan” tetapi
terbukti merupakan teori yang dapat menerangkan dunia mikroskopis dan
mempunyai manfaat dalam kehidupan sehari-hari.
Lebih jauh tentang konsep
participating observer, pola hasil yang akan diperoleh dalam suatu
eksperimen sangat ditentukan oleh pengamat atau dengan perkataan
pengamat menentukan hasil. Ini bukan penelitian sosial tetapi penelitian
tentang materi sub-atomik. Lebih jauh lagi sesuatu benda mikro tidak
punya makna apa-apa sebelum benar-benar diamati. Oleh karena itu
diperlukan suatu mahluk yang memiliki kesadaran (consciousness) untuk
menjadikan sesuatu benda menjadi “real”. Tanpa pengamat, maka semesta
ini tidak akan ada.
Disini mulai jelas titik
singgung antara Fisika modern dengan sufisme atau mistisisme Timur
lainnya. Kita dapat lihat dari salah satu potongan syair Rumi:
“Aku adalah kehidupan dari
yang kucintai. Tempatku tanpa tempat, jejakku tanpa jejak, Bukan raga
atau jiwa; semua adalah kehidupan dari yang kucintai”.
Juga kita dapat lihat pendapat Ibnu Arabi dalam Fushush al-Hikam:
“Kosmos berdiri diantara alam
dan al Haqq, dan antara wujud dan non eksisteni. Ia bukan murni wujud
dan bukan murni non-eksistensi. Maka dari itu kosmos sepenuhnya tipuan,
dan kalian membayangkan bahwa ini al Haqq, namun sebetulnya bukan al
Haqq. Dan kalian membayangkan bahwa ini makhluk, namun ini bukan makhluk”.
Bahasa Rumi “Tempatku tanpa
tempat, jejakku tanpa jejak” atau ungkapan Ibnu Arabi tersebut sangat
memiliki kemiripan dengan Mekanika Kuantum yang juga mengungkapkan
tentang “hidup yang juga mati, mati yang juga hidup”. Jelas sekali
bahasa metafora yang digunakan disini.
Selanjutnya dalam kerangka teori
relativitas juga dimungkinkan dibuat suatu kerucut ruang-waktu: masa
lalu, masa sekarang dan masa mendatang. Dalam hal ini –secara matematik–
ada bagian yang berada di luar kerucut ruang waktu ini, sehingga dapat
dikatakan di luar dunia fisik ini yang kita tempati ini masih ada
kemungkinan “dunia lain”. Hal ini juga didukung oleh teori Kuantum yang
menawarkan many worlds interpretation atau interpretasi banyak
dunia yang diungkapkan oleh Everett pada tahun 1957. Artinya alam
semesta yang kita tempati ini bukan satu-satunya. Hal ini serupa dengan
yang dikatakan oleh Rumi tentang hati yang bisa menuju ke “Pintu-pintu
ke dunia lain.”
Rumi menulis dalam puisi yang
lain “Sang Sufi bermi’raj ke ‘Arsy dalam sekejap, sang zahid membutuhkan
waktu sebulan untuk sehari perjalanan.” Meskipun puisi ini sedikit
menunjukkan nada yang agak sombong dari Sang Sufi, namun jelas
menunjukkan adanya keserupaan dengan konsep relativitas pada Fisika
modern.
Para ahli astrofisika modern
telah menghitung bahwa setidaknya ada 15 trilyun galaksi sejak permulaan
penciptaan —big bang— dan galaksi- galaksi tersebut dalam kosmos
mengikuti suatu siklus seperti yang dijelaskan oleh sufi yaitu
kelahiran, pertumbuhan, kematian dan pembangkitan kembali.
Bintang-bintang, seperti manusia, tidak pernah sebenarnya mati, namun
beberapa bahan dasar seperti besi, karbon, oksigen dan nitrogen secara
terus-menerus didaur-ulang dalam ruang sebagai debu kosmis, bintang
baru, tanaman dan kehidupan. Semua dalam alam semesta yang berekspansi
terdiri dari energi, dan energi secara sederhana berubah dari suatu
keadaan ke keadaan lain untuk selanjutnya naik menuju (cosmic ascent)
kepada Allah.
Pencarian padanan antara sufisme
dan Fisika modern dapat terus dilakukan terutama dalam masalah yang
berkaitan dengan semesta lain, dunia ghoib, pengkerutan waktu,
ketidakpastian, “hidup tetapi mati”, kesadaran dapat mempengaruhi
materi, “ada tetapi tidak ada”, siklus kehidupan dan asal usul semesta.
Beberapa hal dapat dengan mudah
dapat dicerna, namun lebih banyak lagi yang merupakan bahasa metafora
karena susahnya menuliskan realitas yang sesungguhnya. Mungkinkah
kesulitan ini karena keterbatasan bahasa manusia atau keterbatasan
kemampuan logis manusia? Atau semua ini merupakan harta tersembunyi
sebagaimana yang diungkapkan oleh sebuah hadist qudsi: Allah telah
berkata “Aku adalah harta tersembunyi yang perlu disingkap, Aku ciptakan
semesta sehingga Aku dapat diketahui”
Kita biarkan pertanyaan ini
menjadi pertanyaan yang tidak terjawab, namun mengikuti “semangat teori
Kuantum” yang maju terus memberikan kontribusi penting pada peradaban
manusia meskipun telah meninggalkan Einstein dalam kegelisahan
interpretasi. Adakah sekarang manfaat praktis yang dapat ditarik dari
mengkaitkan sufisme dan Fisika modern?
Sudah saatnya para fisikawan
mempelajari istilah yang sudah biasa di Fisika namun merujuk pada
entitas yang berbeda dalam sufisme, yaitu energi. Di Fisika, istilah
energi menunjukkan suatu besaran yang sangat real, sementara di sufisme
istilah ini lebih abstrak. Para ahli sufi sebenarnya meminjam istilah
ini karena ada keserupaan, meskipun pada dasarnya berbeda. Sudah
beratus-ratus tahun terbukti secara empiris bahwa para ahli sufi mampu
menggunakan suatu jenis energi metafisik yang berasal dari Yang Maha
Kuasa untuk berbagai keperluan seperti penyembuhan sakit fisik dan non
fisik. Para ahli sufi sendiri sebenarnya tidak mengerti bagaimana proses
penyembuhan ini terjadi kecuali dengan sepenuhnya melakukan kepasrahan
kepada Allah SWT. Disini fisikawan dapat melakukan penjelasan hal ini
karena memang dimungkinkan dalam teori Kuantum bahwa kesadaran dapat
mempengaruhi materi (mind over matter).
Hal ini hanya merupakan salah
satu contoh manfaat real untuk kemanusiaan. Akan muncul sekali banyak
manfaat bila dilakukan eksplorasi secara seksama hubungan antara sufisme
dan Fisika modern.
Wallahu a’lam bishawab.
Author : Muhammad Hikam
Staf Pengajar Fisika FMIPA Universitas Indonesia dan Penelaah
Naqshbandi-Haqqani
» Read More...
Kiamat !
Dalam suatu masyarakat yang ‘sakit’,
kehadiran sosok juru selamat semacam Imam Mahdi atau Satrio Piningit
selalu ditunggu. Pada sosok-sosok seperti inilah, masyarakat yang
tersisih lantas menyandarkan harapannya. Dilain pihak, sadar atau tidak
sadar, masyarakat ‘sakit’ seperti ini diam-diam juga mengharapkan akhir
dunia segera tiba. Saat itulah mereka akan diangkat ke surga dan bisa
mengucapkan selamat tinggal pada kehidupan dunia yang penuh kepahitan
ini.
Dari waktu ke waktu, kita sering
menemukan berita tentang sekte keagamaan tertentu yang ‘menjanjikan’
kiamat kepada anggotanya. Mereka percaya bahwa akhir dunia segera tiba
pada tanggal sekian bulan sekian tahun sekian, dan bahwa hanya golongan
merekalah yang akan diselamatkan Tuhan dan berhak untuk menjadi penghuni
surga. Tidak jarang keberadaan kelompok semacam ini berakhir dengan
bunuh diri massal, sebuah cara yang dipercaya menjadi semacam ‘jalan
tol’ dalam rangka mencapai surga. Di sisi lain, ada juga kelompok yang
meyakini akan adanya tanda-tanda jaman tertentu yang mengisyaratkan
bahwa sang juru selamat akan segera tiba untuk menyelamatkan mereka yang
‘beriman’ sebelum dunia dan seisinya lenyap bersama datangnya hari
kiamat.
Cerita ‘klasik’ semacam itu kini
juga sedang berlangsung di negeri ini. Sebelum cerita tentang ‘sekte
hari kiamat’ ramai dimuat di media, kita mungkin juga sudah pernah
mendengar cerita tentang dua gerhana di bulan Ramadhan kali ini yang
dipercaya merupakan tanda-tanda akan segera turunnya apa yang disebut
sebagai Imam Mahdi itu. Entah kenapa, banyak orang yang percaya tentang
hal-hal semacam ini. Tak terpikir kalau terjadinya gerhana adalah
sesuatu yang wajar dan alamiah, dan bahwa apabila terjadi dua gerhana
pada Ramadhan kali ini tak lebih dari sebuah kebetulan yang juga pernah
terjadi di waktu lampau (dalam bulan Ramadhan tahun 1402H/1982 M, pernah
terjadi dua gerhana sekaligus dan sampai sekarang Imam Mahdi masih
belum kunjung muncul).
Ini masih ditambah lagi dengan
kisah-kisah yang dituturkan oleh para rohaniwan “doomsayer” tentang
huru-hara di akhir dunia yang belakangan ini makin sering saja kita
dengar. Dalam agama Islam, Al Qur’an sudah menegaskan tentang
tanda-tanda Kiamat secara garis besarnya saja, sementara itu beberapa
hadits menerangkannya dengan lebih rinci. Tapi kalau kita perhatikan
hadits-hadits yang sering dikutip berkaitan dengan tanda-tanda kiamat,
tidak jarang kita akan menemukan beberapa kejanggalan. Selain lemah dari
segi riwayat (matan), kelihatan bahwa banyak riwayat yang kini telah
kehilangan konteksnya.
Bagaimana dalam kisah-kisah
tentang kedatangan kiamat, kekaisaran Romawi masih digambarkan sebagai
kekuatan ‘superpower’, sementara Bizantium masih merupakan pusat
peradaban dunia. Dikisahkan pula bahwa dalam perang akhir jaman, manusia
masih mengendarai kuda dengan bersenjatakan pedang dan tombak, dan
bahwa unta masih menjadi sarana transportasi utama. Itu semua sudah
cukup untuk menunjukkan bahwa segala riwayat tersebut paling tidak
memerlukan interpretasi ulang kalau tidak bisa disebut meragukan.
Sebagai orang beriman, kita
memang harus meyakini bahwa cepat atau lambat, kiamat pasti akan
terjadi. Namun kapan tibanya akhir dunia itu, biarlah hanya menjadi
rahasia dari Yang Maha Mengetahui. Kita tidak bisa melarikan diri dari
kenyataan dengan menunggu datangnya kiamat atau berpangku tangan
mengharapkan sang juru selamat, entah dengan nama Imam Mahdi, Satrio
Piningit, atau apapun juga, datang dan membebaskan manusia dari
ketertindasan. Kita juga tidak bisa hanya berlindung dibalik teks-teks
kitab suci dan berharap ada mukjijat datang dari langit untuk
membebaskan kita dari keterpurukan. Ikhtiar, usaha, itulah
sebenar-benarnya yang harus kita lakukan.
» Read More...
Awal Puasa dan Lebaran Sering Berbeda?
Sebentar lagi kita akan memasuki bulan
suci Ramadhan. Seperti biasa, isu perbedaan awal Ramadhan/Syawal sering
mencuat pada saat-saat semacam ini. Apa saja sih faktor-faktor yang
menyebabkan perbedaan tersebut? Inilah yang akan kita pelajari dalam
catatan kali ini.
Kita tahu bahwa penanggalan Islam
dihitung berdasarkan peredaran bulan mengelilingi Bumi (dikenal sebagai
penanggalan sinodis). Fase bulan--yang semula gelap lalu nampak kecil
berbentuk sabit tipis, lantas semakin besar hingga purnama untuk
kemudian mengecil lagi--dijadikan pedoman dalam menentukan bulan-bulan
Islam.
Untuk penetapan awal Ramadhan
dan Syawal, Rasulullah memerintahkan "Berpuasalah kamu jika melihat
bulan, dan berbukalah jika melihat Bulan". Perintah ini praktis karena
dapat dilakukan oleh setiap orang tanpa harus mengetahui perhitungan dan
data astronomis. Berdasarkan perintah Rasul tersebut, maka tiap bulan
menjelang awal bulan Ramadhan dan Syawal, diadakan pengamatan untuk
melihat bulan sabit (hilal).
Kegiatan inilah yang biasa
disebut sebagai ru'yatul hilal atau juga dikenal sebagai ru'yat saja.
Ru'yat diadakan sesaat setelah matahari terbenam karena bulan sabit
pertama akan nampak di sekitar arah matahari terbenam. Jika bulan sabit
tersebut nampak, maka malam itu dan keesokan harinya dihitung sebagai
tanggal satu bulan baru (Ramadhan/Syawal), namun apabila bulan tidak
terlihat maka dilakukan istikmal (menggenapkan bulan berjalan sebanyak
30 hari).
Selain ru'yat, kita juga
mengenal metodologi hisab untuk untuk menentukan awal bulan hijriyah.
Hisab dalam bahasa Arab artinya menghitung, jadi metodologi ini
menggunakan perhitungan untuk menentukan awal bulan hijriyah.
Tahun lalu, disini kita pernah
belajar tentang kriteria visibilitas hilal sebagai salah satu faktor
yang penentu dari perbedaan awal bulan suci umat Islam (kalau lupa,
silahkan dijenguk lagi catatan 26 Oktober 2001 lalu). Tapi sesungguhnya
perbedaan awal bulan hijriyah ini bukan hanya sesederhana persoalan
kesesuaian antar hasil hisab dan ru’yat saja.
Persoalan pertama adalah soal
ru’yat. Ada ketidaksesuaian pendapat tentang sejauh mana hasil ru’yat
berlaku. Ada ulama yang berpendapat bahwa hasil ru'yat hanya berlaku
lokal dengan radius sekitar 90 km (disebut sebagai matla') dengan alasan
bahwa hilal selalu terlihat terlebih dahulu di daerah yang terletak
lebih ke sebelah barat sementara di sebelah timurnya bulan masih ada di
bawah ufuk (cakrawala). Adapun Angka 90 km dianalogikan dengan jarak
yang membolehkan seseorang meng-Qashar sholatnya.
Namun ada pula ulama yang
beranggapan bahwa hasil ru’yat dapat berlaku untuk satu wilayah regional
tertentu (misalnya seluruh wilayah Indonesia). Pendapat lain adalah
bahwa hasil ru’yat dapat berlaku untuk keseluruhan wilayah suatu negara
tanpa memperhitungkan keterpisahan lokasi geografis (misalnya walaupun
secara geografis terpisah jauh, namun karena masih dalam satu wilayah
negara, maka hasil ru’yat di Hawaii juga dapat berlaku di seluruh
Amerika Serikat).
Golongan yang lebih "ekstrim"
malahan berpendapat bahwa hasil ru’yat dapat berlaku untuk seluruh
dunia, artinya bahwa dimanapun ada laporan penampakan hilal, maka di
wilayah manapun di dunia, esoknya akan dihitung sebagai tanggal satu
bulan berikutnya. Kelompok ini mendasarkan argumennya pada persatuan
umat Islam. Sayangnya, dari segi penanggalan konsep ini tidak ideal
karena dengan demikian, tanggal yang sama akan jatuh pada hari yang
berbeda pada tempat yang berbeda. Kasus lainnya adalah penentuan hasil
ru’yat penentu awal bulah Dzulhijjah sebagai patokan hari raya Haji
(Idul Adha). Karena ritual Haji dilaksanakan di Arab Saudi, maka banyak
pihak yang berpendapat bahwa hasil ru’yat yang digunakan adalah hasil
ru’yat di Arab Saudi.
Persoalan kedua, menyangkut
hisab. Sebagian kaum muslimin menggunakan ilmu ini dengan cara mencari
data ketinggian dan arah hilal serta mengancang-ancang berapa lama hilal
berada di atas ufuk setelah matahari terbenam. Kelompok ini tetap
berpegang kepada ru'yat dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan,
artinya, walaupun hilal menurut perhitungan sudah mungkin dapat dilihat
tetapi dalam kenyataannya tidak ada seorangpun yang dapat melihatnya,
maka tetap harus dilakukan istikmal. Sebagian lainnya berpendapat bahwa
perhitungan yang akurat dapat dijadikan penenetu awal dan akhir
Ramadhan. Kelompok ini tidak lagi melakukan ru'yat untuk menentukan awal
dan akhir Ramadhan. Ru'yat bagi mereka hanya sesekali dilakukan hanya
untuk mengecek dan menyempurnakan data dan sistem perhitungan mereka.
Masalahnya, data dan sistem
perhitungan bulan yang berkembang dan digunakan oleh umat Islam di
Indonesia sampai saat ini masih berbeda-beda. Ada yang menggunakan data
dan sistem yang dikembangkan pada abad ke XV masehi, dengan data tetap
dan koreksi yang sederhana, sementara ada juga yang sudah menggunakan
data kontemporer yang diambil dari lembaga-lembaga astronomi
internasional dengan perhitungan matematika mutakhir. Karena sistem
perhitungannya berbeda maka tingkat akurasinya tentu juga berbeda.
Akibatnya, sering terjadi ketidak cocokan antara satu sistem perhitungan
dengan sistem lainnya.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !